Allah Subhanahu wata'ala memerintahkan memerintahkan untuk memeratakan harta sehingga tidak beredar di kalangan kaum kaya saja. Baitul Mal adalah tempat untuk melakukannya --menampung harta untuk sementara, untuk segera dibagikan. Tapi hari ini sebagian umat Islam menggunakan Baitul Mal untuk sesuatu yang asing dalam Islam. Dimulai dengan memanipulasi istilahnya, dengan menambahkan wa Tamwil menjadi Baitul Mal wa Tamwil (BMT). Tentu saja BMT tidak ada lagi kaitan dengan Baitul Mal yang sebenarnya. BMT tidak lain bagian dari sistem riba. Pembunga uang alias rentenir.
Hari ini pula, dalam sistem riba yang merajalela, kesejahteraan --atau tepatnya kesulitan dan penderitaan orang-- justru dijadikan komoditi, kegiatan komersial, serta menjadi bagian dari instrumen dari industri riba. Sementara itu pengelolaan infak, sedekah, wakaf, dan zakat (ziswaf) di zaman ini pun telah pula mengalami institusionalisasi, birokratisasi dan sistematisasi. Pengelolaan Ziswaf menjadi bagian dari filantropi, yang tak lain adalah bagian dari sistem riba. Ziswaf menjadi bagian dari sistem perbankan, bagian dari sistem riba.
Inilah paradoks sekaligus tragedi. Sebab Allah Subhanahu wa ta'ala justru mempertentangkan keduanya: Sedekah adalah antitesa riba. Allah Subhanahu wa ta'ala menyuburkan dan melipatgandakan sedekah dan memusnahkan riba. Kebanyakan dari kita, hari ini, melakukan yang sebaliknya: menyubur-nyuburkan riba dan karenanya mematikan sedekah. Akibatnya, Ziswaf tidak mengubah keadaan, watak transformatifnya pun hilang, bahkan menjadi bagian dari pelestari status quo.
Buku ini menjelaskan keberadaan dan fungsi Baitul Mal yang orisinal. Ringkas namun mampu mengisi keperluan tersebut. Buku ini menjelaskan pula posisi Baitul Mal sebagai salah satu bagian dari model penyelenggaraan kesejahteraan sosial di zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan Sahabat.
Diterjemahkan dan Disunting oleh:
Zaim Saidi
14,0 cm × 20,0 cm; 150 hlm.
Cet I/Juni 2019
Penerbit:
Pustaka Adina