Shop | Tokopedia logo
Search
1/1
Rp110.000

NOVEL DIA YANG HARAM BEST SELLER ISRINA SUMIA

Sold by Juragan9090

Select options

Select

Shipping

From Rp10.500
Est. delivery by Apr 23 - Apr 25

Specifications

Juragan9090
15 items

About this product

Kuantitas per Kemasan1
PengarangIsrina Sumia

Product description

“Buk! Haram itu bukannya babi ya?” tanyaku pada Ibu. Saat itu usiaku baru enam tahun, dan pertanyaan itu juga dengan rentetan kejadian setelahnya masih teringat sampai sekarang. 
“Hmmm!” jawabnya berdehem. 
“Kalo Babi! Terus kenapa aku dipanggil anak haram? Apa aku anak Babi?” tanyaku dan sekilas Ibu memandangku, dengan sorot mata tajam dan rahang yang mengeras, tangannya terkepal membuatku langsung melengos takut. 
“Buk ….”
“Kamu tuh bisa diam enggak sih!” b*ntak Ibu, b*ntakan itu seketika membuat napasku berhenti beberapa detik. Aku berdiri dengan kaki gemetar di hadapan Ibu yang saat itu sibuk mengiris bawang di dapur warteg tempat Ibu bekerja. “Main Sana! Nanya yang enggak-enggak!” 
Berlari aku keluar, kemudian duduk di pelataran warteg dengan sedikit napas yang kurasa terhimpit karena rasa takut. Lalu aku menyelorot di balik dinding dapur Ibu, dan duduk diam di sana tanpa tahu harus apa. 
Ibu tak paham, bukannya aku tak ingin bermain. Tapi … mereka yang tak mau berteman denganku. Anak-anak di lingkungan tempatku tinggal, selalu saja mengejekku dengan sebutan anak haram. Ibu bahkan tak pernah mau tahu dan peduli, jika mereka jijik bermain denganku. Yang kutahu, haram adalah babi dan babi haram untuk dimakan karena wajahnya yang jelek. Jadi di usiaku saat itu, aku mengira, aku adalah anak haram karena wajahku jelek.
Aku masih diam di sana duduk jongkok dan tak harus apa, sampai embusan angin melipir dan sedikit menyejukkan wajahku. 
“Hanun, ngapain di sini?” Suara Pak Sueb tiba-tiba saja terdengar nyaring. Dia duduk jongkok di depanku kemudian tersenyum. 
“Hanun mau jajan?” tanyanya aku menggeleng, ingin sebenarnya tapi aku takut Ibu marah seperti hari-hari sebelumnya, wanita yang kucintai itu pernah mem*kul bokongku dengan keras hanya karena pemberian uang yang tak seberapa dari Pak Sueb untuk membeli sedikit permen. 
“Hanuuunn!” Suara teriakan Ibu menggelegar bak dewa petir yang seketika membuatku bangkit dan berlalu dari Pak Sueb pemilik warteg tempat Ibu bekerja. Aku berlari ke bale-bale tempat Ibu duduk, tak lama kemudian Ibu datang membawakan piring berisikan nasi bercampur sayur sop. 
“Makan dulu!” kata Ibu. 
“Kasih anakmu ayam loh Har!” teriak Pak Sueb.
“Enggak usah Pak! Nanti keenakan!” jawab Ibu. 
“Ya memang ayam enak!” susul Pak Sueb sambil meletakan paha ayam di piringku, lalu lelaki berkumis itu mengusap kepalaku dan berkata, “makan yang banyak ya, jadi anak pintar!” 
“Kamu makan ini aja, ya,” susul Ibu. Dia mencomot paha ayamku, dan menukarnya dengan ceker dan kepala ayam. Aku tersenyum gembira, karena meski paha ayam kastanya lebih tinggi dibandingkan ceker dan kepala, tetap saja gurihnya ceker dan kepala tak bisa dikalahkan oleh empuknya daging di bagian paha. 
Ibu tak suka, ketika Pak Sueb baik denganku. Karena yang kudengar sepintas lalu dari obrolan Ibu dengan teman kerjanya, Pak Sueb suka sama Ibu dan ingin menjadikan Ibu istri ketiganya. Tapi Ibu menolak, Ibu tak suka. Di antara para wanita yang bekerja di warteg Pak Sueb, memang hanya Ibu yang kubilang paling cantik. Kulit Ibu putih, rambutnya berwarna hitam, dengan bulu mata yang lentik dan bola mata berwarna cokelat. 
Tak jarang pengunjung warteg memuji kecantikan Ibu. Sambil melayani, kadang mereka sering kulihat dengan sengaja menc*lek bagian tubuh Ibu, sampai wanita yang kuhormati itu terlihat begitu risih. 
Setelah menjelang senja, warteg mulai sepi, lauk pauk sudah mulai habis, Ibu dan beberapa temannya mulai beberes, menyapu dan mencuci piring, setelahnya kami kembali pulang. Dengan berjalan kaki, kami kembali menuju rumah kontrakan yang Ibu sewa setiap bulannya. Namun, biasanya sebelum tiba di rumah petakan kami, Ibu akan menyempatkan mampir ke rumah kakak juga Ayah yang tak ingin kuanggap Ayah. 
Di sebuah komplek perumahan, kakakku Laura tinggal di sana. Di rumah berpagar hitam, dan cat dinding berwarna putih kebiruan. Mobil hitam yang terparkir di sana, menunjukkan betapa kayanya Ayah. Lelaki yang enggan kusebut demikian. 
Setiba di sana, seperti biasa Ibu akan menekan bel dan tak lama Kak Laura datang dengan senyum yang begitu hebat. Dibukakan pintu pagar oleh Kak Laura, dan keduanya berpelukan begitu erat. Aku, yang berada di dekat Ibu hanyalah seperti bayang-bayang yang melihat keduanya. Dekat tapi tak menyatu. Bahkan pelukan Ibu kepadaku tak pernah seerat itu. 
“Ayah ada?” tanya Ibu.
“Kerja Bu.”
“Mamah Lastri?”
“Kerja juga.”
“Ya sudah, ini Ibu bawakan Ayam goreng, kamu makan ya.” Di titik itulah aku merasa kasih sayang Ibu lebih besar untuk Kak Laura dibandingkan aku. Di titik itulah, ketika Ibu selalu menyempat-nyempatkan memberi paha ayam pada Kak Laura, aku selalu merasa bukan anak kandungnya. Makanan yang paling kusukai dan selalu saja dia marahi ketika aku memintanya. Selalu saja dia bawakan untuk putri sulungnya. 
“Belajar yang baik ya Laura … Ibu kangen banget sama kamu!” kata Ibu. 
Di pelukan Ibu, kak Laura menatapku dengan sorot mata yang tak biasa. Meski aku tersenyum, tetap saja ada secuil rasa yang kukira kebencian berada di mata Kak Laura untukku. Ibu selalu menangis saat memeluk Kak Laura, dia usap wajah putri sulungnya itu kemudian mengecup keningnya. Hal yang tak pernah dia lakukan, padaku. 
Setelahnya seperti biasa, kami akan kembali pulang. Dan di rumah mungil kami, Ibu akan melanjutkan pekerjaan mencuci pakaian lalu beristirahat. Ketika itu, aku masih berusia enam tahun. Semua yang kukatakan dan kutanyakan padanya tak pernah kupikirkan sebelumnya. Karena aku memang anak-anak, dan begitulah anak-anak. 
Ketika Ibu duduk berbaring di kasur sambil melihat-lihat layar ponsel aku bertanya padanya. 
“Bu … Hanun mau ayam,” kataku dan Ibu langsung mengembuskan napas. 
“Tadi kan udah makan di warung, ceker sama kepala! Hanun lupa?” tanya Ibu pelan. 
“Hanun mau paha ayam kayak Kak Laura,” kataku dan Ibu melengos. Dia rengkuh bahuku kemudian menatap wajahku lamat-lamat. Rahang Ibu mulai mengeras kembali. “Hanuuun … mau kayak Kak Laura,” rintihku saat itu. Masih terekam jelas di ingatan betapa asinnya air mata yang masuk ke mulutku saat itu. 
“Hanun dengar Ibu baik-baik. Kak Laura itu tidak pernah bertemu Ibu. Makanya Ibu selalu berikan Kak Laura paha ayam! Kamu harusnya mengerti, kamu beruntung tiap hari bisa ketemu sama Ibu, Kak Laura enggak!” b*ntak Ibu dan saat itu, air mataku tumpah, semakin deras tak terbendung lagi sampai aku tersadar bahwa sejujurnya bukan paha ayam yang kuinginkan, melainkan perhatian Ibu kepada Kak Laura yang kuinginkan sama untukku. 
Kupeluk tubuh Ibuku erat-erat, dan menangis di pelukannya. Tangisanku terdengar begitu nyaring sampai berulang kali Ibu memintaku untuk diam dan berusaha melepaskan pelukanku. “Dieem! Cengeng banget sih!” hardik Ibu kemudian. 
Berdiri aku di depan Ibu dengan tangan di kedua telinga, sambil menangis, dan mulut yang penuh dengan air mata aku merintih, “Enggak apa-apa Buu, enggak apa-apa … Hanun enggak mau paha ayam, Hanun maunya Ibu aja, enggak apa-apa Buuuu …,” rintihku malam itu, dan mendengar itu ada air mata yang kulihat menerabas di kedua mata Ibu. Wanita itu meraih tubuhku kemudian memelukku erat-erat. 
“Maafkan Ibu Hanuun, Maaf,” rintihnya. Itulah kalimat yang paling sering kudengar di tengah malam, ketika kedua mataku hampir pamit kepada malam. Seraya mengusap-usap kepalaku Ibu menangis dan merintih. 
Lalu kini, aku baru mengerti apa arti anak haram yang sering disematkan di ujung namaku oleh anak-anak ketika aku bermain saat aku kecil. Aku … bukanlah anak dari seorang Ayah yang tak mau kusebut Ayah. Pernikahan Ibu hancur karena Ibu mengandung anak dari hasil perselingkuhannya dengan seorang lelaki yang sampai saat ini tak pernah menunjukkan wajahnya di hadapan Ibu. Dan anak itu adalah aku. Ismi Hanun Nazma. Bukan Haram. Bukan.

Videos for this product

Paid partnership
Juragan9090
Juragan9090
You may also like
Womenswear & Underwear
Phones & Electronics
Fashion Accessories
Menswear & Underwear
Home Supplies
Beauty & Personal Care
Shoes
Sports & Outdoor
Luggage & Bags
Toys & Hobbies
No more products
TikTok Shop promo codes
Sell on TikTok ShopSeller center
About TikTok ShopContact usCareersAffiliate
Help centerSafety centerCommunity guidelines
TransparencyAccessibility
Open TikTok