"Embun, ada mantan kamu sama istrinya," bisik Yani padaku. Sontak aku memandang ke pintu masuk kafe.
Benar saja. Beberapa langkah di hadapanku, seorang **** tegap yang lengan kirinya digelayuti manja seorang perempuan yang usianya jauh lebih muda dariku masuk kafe dan mencari tempat duduk.
Jiwaku bergejolak, ada cemburu yang membuncah dan ***** yang tak dapat terlukiskan dengan kata-kata. Sepuluh tahun kami hidup bersama, sepuluh tahun juga kami berjuang untuk mendapatkan putra. Tapi, hingga kesabaran mertuaku habis, aku tak kunjung mengandung. Hingga aku harus merelakan **** yang sangat kucintai menikahi perempuan pilihan keluarganya.
"Kita menghindar saja," ajak Yani. Dia ingin menyelamatkanku dari situasi yang tentu tidak nyaman bagi siapa saja yang mengalami peristiwa sepertiku. Lagipula kami juga sudah selesai makan.
Belum juga kami beranjak, dari pintu muncul mantan mertuaku. Dua orang yang tampak selalu kompak dan harmonis di usia senjanya bergabung duduk dengan putra dan menantu barunya. Dua bulan yang lalu, aku masih menjadi menantunya.
Sebelum putusan pengadilan agama mengesahkan perpisahan kami.
Ramainya pengunjung kafe, membuat mereka tidak menyadari kehadiranku bersama Yani. Justru aku bingung, apakah aku harus menyapa mereka duluan atau diam saja?
"Yan, kamu tahu apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus nyapa duluan?" tanyaku bingung.
"Nggak usah, biarin aja. Pura-pura aja nggak ngeliat mereka." Yani menjawab dengan kesal dan tidak peduli. Dia ikut ***** hati juga ketika orang tuanya Mas Fariq ingin agar aku mengizinkan putranya menikah lagi. Demi mendapatkan keturunan untuk melanjutkan generasi mereka selanjutnya. Sebab Mas Fariq adalah anak satu-satunya.
Kuraih gagang gelas dan kuhabiskan teh hangat yang tadi kupesan. Dada makin terasa debarannya. Dari tempatku duduk, aku bisa melihat kalau Mas Fariq tidak seceria istri dan kedua orang tuanya. Lelaki itu lebih sibuk dengan ponselnya. Bahkan ia terkesan tak peduli pada perempuan di sebelahnya. Dia hanya bicara ketika seorang pramusaji datang menanyakan pesanan.
"Kalau nggak nyapa aku nggak enak, Yan."
"Ah, kamu ini terlalu baik. Mereka aja nggak peduli bagaimana perasaanmu. Bertahun-tahun mendampingi anaknya meniti karir, eh seenaknya saja ngasih madu buat kamu."
"Mereka ingin cucu dan aku nggak bisa memberikannya." Sebenarnya hatiku tak seikhlas ini. Aku merasakan ***** yang masih terasa hingga kini. Tapi, aku tidak boleh terlalu mengikutkan emosi. Inilah caraku untuk mengobati diri sendiri.
Akhirnya aku berdiri dan meraih sling bag di atas meja. "Yan, ayo kita pulang. Kamu tunggu di luar biar aku samperin mereka sebentar."
Yani berdecak lirih. Kemudian dengan jengkelnya meninggalkan aku yang berdiri mematung. Pada saat yang bersamaan, Mas Fariq menatap ke arahku. Binar bahagia di netra itu jelas terlihat olehku. **** itu hendak berdiri, tapi aku segera menghampiri. Daripada istrinya nanti salah paham jika suaminya mendekati mantan istrinya.
"Assalamualaikum," sapaku ramah dan menguatkan hati pada mantan mertua yang tengah berbincang.
Pak Salim dan istrinya, juga perempuan muda bernama Karina memandang ke arahku. Bu Salim tampak terkejut dan langsung berdiri memelukku. "Embun, Ya Allah, Nak. Apa kabar?" Beliau memelukku. Dua bulan ini kami tidak pernah bertemu.
Aku berusaha untuk menahan air mata yang sudah mengaburkan pandangan. Ternyata aku tidak sekuat itu. Aku tak bisa bersikap biasa setelah sepuluh tahun kebersamaan kami.
"Alhamdulillah, kabar saya baik, Tante."
Wanita yang telah melepaskan pelukan kaget ketika aku memanggilnya dengan sebutan tante. Tapi, beliau diam saja. Mungkin untuk menjaga perasaan menantu barunya. Lantas kusalami mantan papa mertua, kemudian menyalami Karina, dan aku menangkupkan kedua tangan pada Mas Fariq dan membiarkan tangannya yang hendak menyalami mengambang di udara.
"Duduklah sini. Ayo, bergabung makan malam bersama dengan kami," ajak Bu Salim dengan ramah.
Aku tersenyum dan menangkupkan kedua tangan ke dada. "Terima kasih, Tante. Maaf, saya sudah makan. Saya permisi dulu, saya ditunggu Yani di luar. Assalamualaikum."
Aku pergi setelah salamku dijawab. Tidak kulihat bagaimana ekspresi wajah Mas Fariq, aku belum sanggup bertatapan muka terlalu lama dalam jarak yang dekat. Namun, aku bisa melihat kalau Karina tidak suka melihat kehadiranku di antara mereka. Istri mana yang tidak cemburu melihat suaminya bertemu sang mantan.
Masa iddahku tinggal tiga puluh hari lagi. Sebenarnya mamanya Mas Fariq memintaku menjalani masa iddah di rumahnya jika tidak mau tinggal seatap dengan istri muda putranya.
Apa yang mau ditunggu juga. Sudah pasti aku tidak akan hamil. Lagipula aku juga ingin menenangkan diri setelah sidang panjang perceraian kami.
Mas Fariq keukeuh tidak ingin bercerai, bahkan berulang kali mengajakku rujuk. Tapi, aku tidak sanggup jika hidup dimadu. Tidak sanggup juga menyuruhnya menceraikan Karina. Itu juga tidak diperbolehkan dalam agama. Makanya aku lebih baik pergi untuk mengobati luka hati.
"Yan, ayo pulang," ajakku pada sahabat sekaligus temanku bekerja sebagai perawat. Kami pergi menaiki taksi online yang sudah dipesan oleh Yani.
Sepanjang perjalanan pulang, Yani tidak mengajakku bicara. Mungkin dia jengkel karena aku masih mau saja bersikap baik pada mereka. Keluarga yang menjadikan aku janda di usia tiga puluh tiga tahun. Ah, akulah yang sebenarnya menjandakan diri, karena tidak sanggup hidup berbagi suami.
Taksi berhenti tepat di depan kosan. Sejak sidang pengadilan di putuskan, aku pergi dari ***** Mas Fariq dan tinggal di kosan. Aku tak dapat pembagian *****, karena ***** yang selama ini kami tempati adalah ***** yang dibeli oleh Papa Mertua. Tapi, aku dapat sejumlah uang dari Mas Fariq. Dan uang itu sampai sekarang masih beku di bank. Aku tidak menggunakannya sepeserpun.
Setelah aku turun, taksi pergi untuk mengantarkan Yani pulang. Aku membersihkan diri di kamar mandi, kemudian salat isya. Setelah itu berbaring di ranjang. Dalam remang cahaya lampu kamar, kenangan itu kembali membayang.
Masih segar dalam ingatan bagaimana Papa dan Mama Mas Fariq memanggil kami untuk makan malam di rumahnya, beberapa bulan yang lalu.
Di musim kemarau itu aku seperti disambar petir di malam hari. Saat dengan penuh rasa bersalah, papanya Mas Fariq mengutarakan pendapat yang sudah disepakati bersama istrinya. Berulang kali mereka mengucapkan kata maaf dan maaf.
Kala itu Mas Fariq menentang keras dan langsung mengajakku pulang tanpa pamitan. Seminggu kemudian ibu mertuaku datang ke *****, kebetulan aku **** saja pulang dari shif malam sebagai perawat di salah satu ***** ***** swasta di kota kecil kami.
Beliau memohon padaku agar Mas Fariq mau menyetujui saran mereka. Mama mertua sampai menangis dan memohon dengan amat sangat agar aku menyetujui Mas Fariq menikah lagi. Dan beliau juga berharap agar aku tidak meminta cerai, karena sudah teramat sayang padaku. Bagaimana mungkin seorang ibu bicara begitu padaku yang katanya sudah dianggap sebagai anak perempuannya? Seorang ibu tidak akan menyakiti anaknya.
Ah, menantu tetaplah menantu.
Mas Fariq mengamuk ketika aku membicarakan kedatangan dan permintaan mamanya. Namun, sekuat tenaga aku menahannya agar dia tidak pergi ke ***** orang tuanya untuk marah pada mereka.
"Aku nggak masalah nggak punya anak. Kenapa mereka mempermasalahkannya?" teriaknya malam itu. Mungkin tetangga yang mendengar, menganggap kami sedang bertengkar. "Aku mencintaimu dan aku nggak akan menduakanmu. Titik. Jangan rayu aku untuk hal konyol begini," tambahnya berapi-***. Membuatku tertunduk berderai air mata.
Pemeriksaan berulang kali, tak ada satu pun di antara aku dan Mas Fariq yang dinyatakan mandul oleh ****** kandungan. Kami berdua tidak memiliki masalah apa-apa. Namun, mereka tetap tidak sabar untuk menunggu kami tetap berusaha. "Usia Fariq sudah banyak. Waktunya ia punya anak. Mama harap kamu paham, Embun."
Aku sendiri sudah tidak sanggup lagi menghadapi tekanan dari mertua. Hingga aku merayu suamiku untuk menyetujui permintaan mereka, daripada aku sendiri dapat tekanan mental. Sepuluh tahun, bukan waktu yang singkat. Mungkin memang sudah saatnya aku mengikhlaskan.
"Berjanjilah kalau kamu nggak akan minta cerai setelah aku menikahi Karina. Jika kamu tidak mau berjanji, aku nggak akan menikah lagi."
Aku hanya mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Sungguh, siapa yang rela berbagi suami. Aku benar-benar tidak bisa dan aku tak punya pilihan untuk itu.
Sebulan setelah Mas Fariq dan Karina menikah, aku mengajukan gugatan perceraian. Aku tak sanggup di madu. Terlebih jika memikirkan apa yang dilakukan suamiku di kamar istri mudanya.
Aku ingin mengakhiri semuanya sebelum aku menjadi gila. Lebih baik aku menjauh dan tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan mereka. Mas Fariq membawaku pergi hampir seminggu setelah dia menerima ***** panggilan sidang dari pengadilan. Semua orang mencari kami. Orang kantornya, instansi tempatku bekerja juga, terutama kedua orang tua Mas Fariq yang akhirnya jatuh ***** dan membuat Mas Fariq mau pulang.
Sidang perceraian kami berlarut-larut dan sangat melelahkan. Jujur saja, Mas Fariq berharap agar ada keajaiban dengan kehamilanku. Namun, nihil juga. Dan sampai sekarang pun setelah keguguran, Karina juga belum mengandung lagi.
Perempuan itu hamil setelah dua bulan menikah, tapi ***** itu gugur ketika **** berusia delapan minggu. Setidaknya Pak Salim dan istrinya bahagia, karena menantu barunya bisa mengandung meski keguguran waktu itu.
Aku yang masih terjaga kaget ketika mendengar pintu kamar kos diketuk pelan dari luar. Pelan aku turun dari pembaringan. Dari gorden jendela kaca, kuintip siapa yang sedang mengetuk pintu. Biasanya kalau teman satu kosan, mereka akan memanggil namaku juga. Tapi, kali ini tidak.
Dari cahaya lampu teras kamar, aku melihat ada seorang perempuan dan lelaki setengah baya berdiri menatap pintu kamarku. Dia tidak mungkin orang tuaku. Bapak tidak mungkin bisa membujuk ibu tiriku untuk menjenguk ke sini. Bahkan ketika aku memutuskan untuk bercerai saja, mereka malah menentang. Memarahiku kenapa aku tidak ingin bertahan saja. Toh masalahnya di aku yang tidak bisa memberikan anak buat suami. Ah, apa semua ibu tiri memang jahat seperti itu?
Jelas saja ibu tiriku tidak terima, karena setelah aku bercerai dari Mas Fariq, dia tidak akan mendapatkan jatah uang bulanan lagi dari Mas Fariq. Dia juga akan hilang kebanggaan memiliki menantu dari keluarga berada.
Kembali pintu diketuk. Aku masih bertahan belum membuka pintu.
"Mbak," suara wanita itu kembali memanggilku dengan suara lirih.
Kulihat kembali dari ***** gorden. Saat wanita itu menoleh aku **** ingat kalau dia adalah seorang ART dari ***** megah di ujung jalan sana. Aku sering melihatnya kalau naik ***** mau berangkat kerja. Tapi, untuk apa dia mencariku?
Akhirnya aku membuka pintu setelah memakai bergo. Wanita dan lelaki setengah baya itu tampak lega. "Maaf, Mbak. Kami mengganggu istirahat, Mbak. Bos saya mau minta tolong sama, Mbak."
"Minta tolong apa?" tanyaku bingung.
"Mbak, bisa ikut dengan kami? Dan Mbak bisa membawa keperluan darurat untuk pertolongan pertama pada pasien." Wanita itu lagi yang bicara. Sedangkan lelaki di sebelahnya hanya diam saja.
Aku makin dibuat tak mengerti. Aku tidak memiliki apa yang dimaksud wanita itu. Tentu untuk pertolongan pertama yang kupunya hanya perlengkapan P3K. Sama seperti yang tersedia di *****-***** warga.
"Saya nggak punya alat khusus, Bu. Saya hanya perawat ***** *****, bukan ******."
"Nggak apa-apa, Mbak. Ayolah segera ikut kami. Tahu 'kan kalau saya bekerja di ***** besar ujung sana? Rumahnya Pak Darmawan."
Aku mengangguk. Aku tidak bisa berpikir apa pun selain ikut mereka. "Sebentar saya ambil jaket dulu."
Mereka membawaku pergi ke ***** itu dengan mengendarai ***** mewah warna putih. Ketika aku pergi, teman kosanku tidak ada yang ******* Mungkin sebagian dari mereka kerja malam. Sebab kosan itu dihuni anak-anak yang bekerja di pabrik. Aku sempat takut kalau diculik.
Diculik? Apa istimewanya diriku hingga perlu untuk diculik. Aku janda yang tak punya apa-apa. Bahkan untuk hamil saja aku tak bisa.
Pintu gerbang besar itu terbuka secara otomatis. Tampak ada seorang satpam yang berjaga di sana. Aku di bawa masuk ke ***** megah dan mewah. Ornamen klasik menjadi desain interiornya. Kedua orang itu terus membawaku naik ke lantai dua, meniti tangga marmer putih yang terasa dingin di telapak kaki.
**** saja menginjak lantai atas, aku dikejutkan oleh suara erangan yang cukup keras dari salah satu kamar. Tubuhku gemetar. Ada apa sebenarnya? Dan ***** sebesar ini hanya dihuni para pekerjanya saja. Mana bos yang dimaksud wanita tadi?
Seorang laki-laki berperawakan besar membukakan pintu.
Aku makin kaget ketika melihat di ranjang besar itu berceceran darah dan ada seorang **** muda mengerang kesakitan sambil memegangi lengan kiri bagian atas.
"Namaku Bu Atun, Mbak. Tolonglah Mas Hendri." Wanita itu menuntunku mendekati ranjang majikannya.
"Dia kenapa, Bu?" tanyaku ketakutan sambil memandang **** dengan tubuh tegap yang sedang kesakitan. Keringat membasahi wajah dan tubuhnya.
"Tolong keluarkan peluru ini dari lenganku." **** bernama Hendri itu yang bicara sambil menahan *****.
"Apa?" pekikku kaget.
Unduh aplikasi 【Goodnovel】 dan cari "Embun Desire Mencintaimu Tanpa Syarat" di Goodnovel untuk membaca versi lengkapnya.
"Tolong!"
"Maaf, saya nggak bisa. Saya bukan ******. Sebaiknya dibawa ke ***** ***** saja. Ini bisa berbahaya jika dibiarkan dengan penanganan yang salah." Aku bicara dengan suara bergetar. Bertahun-tahun menangani pasien dengan luka berbagai macam, tapi aku tidak segemetar ini.
Seorang laki-laki bertubuh kekar menghampiriku. "Tolong, bos kami, Nona. Kami tidak bisa membawanya ke ***** *****. Apa yang Anda butuhkan, akan kami carikan."
Tidak bisa membawanya ke ***** *****? Kenapa? Nyawanya terancam tapi orang-orang itu keukeuh tidak ingin mendapatkan pertolongan di ***** *****.
"Ini lukanya sangat parah. Harus mendapatkan penanganan segera." Aku berdebat di kamar mewah bernuansa maskulin.
Mereka tetap tidak ingin membawa lelaki yang sudah kehilangan banyak darah itu ke ***** *****. Para lelaki berpakaian serba hitam itu menatapku tajam. Tampaknya mereka membenciku karena terlalu banyak bicara dan penolakan.
Mereka benar-benar memaksaku untuk melakukan hal sebesar ini. Yang seharusnya dilakukan oleh ****** bedah. Tapi ... kenapa **** itu bisa tertembak? Siapa yang melakukannya dan sekarang kesannya seperti di rahasiakan. ***** dari lantai satu hingga lantai dua juga rapi, tidak ada bekas keributan di sini. Apa **** itu seorang residivis?
Aku kembali dikejutkan oleh pintu yang dibuka dari luar. Seorang laki-laki usia enam puluhan yang memakai jas warna abu-abu masuk dan langsung mendekati **** muda yang masih kesakitan. "Tolong putraku, aku akan membayarmu berapa pun itu," pintanya sambil menatapku. Aku makin gemetar dan keringat dingin membasahi pelipisku.
Kenapa aku dihadapkan pada situasi yang sulit ini?
**** yang bersandar pada kepala ranjang masih menahan *****, tapi tidak banyak bergerak. Rupanya mereka juga tahu kalau posisi luka tidak boleh lebih rendah dari posisi jantung. Siapakah mereka ini? Dan **** bernama Hendri itu tidak sepanik orang-orang yang terkena luka berbahaya dan mengancam nyawa. Meski kesakitan, dia hanya diam dan sesekali meringis menahan *****.
Aku tidak boleh diam mematung, aku tidak boleh diam jika ada pasien yang membutuhkan pertolongan. Terlebih mereka semua memaksaku untuk melakukannya. Setidaknya aku bisa melakukan pertolongan pertama.
"Ambilkan saya kain kasa. Kalau nggak ada, ambilkan handuk saja," kataku sambil naik ke atas tempat tidur. Dan duduk bersimpuh di samping **** itu. Wajahnya terlihat biasa saja, seperti sudah terbiasa dengan luka seperti ini.
Bu Atun memberikan beberapa handuk padaku. Segera kubalut luka itu dengan menekan pembuluh darah yang lebih dekat dari jantung agar bisa menghentikan pendarahan. Yang terpenting aku harus bisa menghentikan pendarahannya lebih dulu, sambil berpikir keras bagaimana aku membujuk mereka agar pergi ke ***** ***** saja.
Melihat luka dan peluru yang bersarang di lengan itu, penembakan dilakukan dari jarak dekat. Sebab semakin besar kecepatan peluru, maka makin parah luka dan kerusakan jaringan. Tetapi, aku tidak tahu ini peluru jenis apa.
Pendarahannya mulai berhenti.
"Peralatan apa yang kamu butuhkan? Biar kami persiapkan." Lelaki setengah baya bicara dan menatapku penuh pengharapan.
"Maaf, pasien butuh dievakuasi segera. Ini butuh ****** bedah untuk mengeluarkan proyektil pelurunya. Saya hanya bisa melakukan perawatan tapi tidak bisa mengeluarkan timah panas ini. Segera ambil keputusan untuk membawanya ke ***** ***** sebelum terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, karena korban bisa saja keracunan timah." Semoga mereka paham dengan penjelasanku.
"Kamu perawat, tentu kenal dengan banyak ******. Suruh ****** bedah datang ke sini. Aku akan membayar berapa pun yang dia minta." Lelaki bernama Hendri bicara padaku. Kami berpandangan dengan jarak yang sangat dekat.
"Akan saya antarkan Anda ke ****** bedah."
"Aku tidak ingin ke ***** *****."
"Ini bukan ke ***** *****, tapi ke ***** pribadinya." Aku tak punya pilihan selain mengatakan hal itu. Walaupun mungkin aku akan dimarahi oleh Pak Nanda karena melibatkan beliau dengan urusan yang tidak jelas begini.
"Di mana rumahnya?"
"Di pinggiran kota."
"Antarkan kami." Lelaki setengah baya itu bicara padaku kemudian menyuruh para anak buahnya untuk segera membawa putranya *******
Aku tidak bisa berkutik lagi selain mengikuti mereka. Jelas saja Pak Nanda akan marah padaku. Ya Allah, peristiwa demi peristiwa datang bertubi-tubi.
Tergesa-gesa aku mengikuti mereka yang memapah lelaki muda menuruni tangga. Meski terluka parah, dia memilih berjalan kaki saja untuk ****** *****.
***** melaju kencang membelah pekat malam. Aku duduk di samping **** berbadan besar yang sedang mengemudi. Sesekali aku mengarahkan sebagai petunjuk jalan.
Malam ini aku pasrah. Aku mempertaruhkan tentang hidupku. Hidup yang tak lagi berarti sejak perpisahan dengan laki-laki yang telah membersamaiku selama sepuluh tahun ini.
Kami telah sampai di depan sebuah ***** bercat warna putih. Aku segera turun dan menghampiri seorang satpam yang sedang memperhatikan kami. Sebenarnya laki-laki muda itu tidak mengizinkan aku untuk masuk dan bertemu dengan ****** Nanda. Karena ****** bedah itu sedang istirahat. Tapi, aku memaksa dan lelaki berpakaian warna putih biru itu masuk ke dalam. Tidak lama kemudian seorang **** berperawakan tinggi ****** menemuiku.
Aku mengajak ****** Nanda duduk dan menceritakan maksud kedatanganku. ****** berkacamata itu terbelalak kaget. Namun, dengan tenang ****** berusia empat puluh lima tahun itu menyarankan agar aku mengajak mereka langsung ke ***** *****.
"Selamat malam, ******." Tiba-tiba saja Ayah dari **** yang tertembak itu berada di antara kami. **** yang bernama Darmawan.
"Tolong putra saya. Tolong keluarkan saja peluru itu dari lengannya. Saya akan membayar berapa pun itu."
"Ini bukan soal bayarannya. Tapi, saya tidak bisa melakukannya di *****. Mari kita ke ***** *****."
Lelaki itu menolak. Bahkan dia memerintahkan anak buahnya untuk membawa anaknya turun. "Tolong keluarkan pelurunya saja, biar perawatannya nanti akan dilakukan oleh Mbak ini." Pak Darmawan memandang ke arahku. Sekali lagi aku hanya bisa menatapnya saja. Lelaki itu sungguh pemaksa.
****** Nanda tidak bisa mengelak sepertiku. Beliau menjelaskan kemungkinan terburuk ketika dia akan melakukan tindakan mengeluarkan peluru itu. Bisa jadi akan terjadi pendarahan, infeksi, kerusakan jaringan. Untuk meminimalisir butuh persiapan yang tepat.
"Lakukan saja, ******. Saya percaya dengan, Anda!"
Pada akhirnya aku membantu ****** Nanda dengan perlengkapan seadanya. Beliau melakukan prosedur kilat. Tanpa adanya ronsen. Padahal untuk mengeluarkan sebuah peluru harus menjalani banyak prosedur. Terutama juga butuh alat ultrasonografi untuk mempermudah mencari tahu letak peluru.
Namun, karena semua alat itu tidak tersedia di rumahnya. Maka ****** Nanda memeriksa fisik pasien dengan perlengkapan seadanya. Beliau bisa menilai jenis ******* *** apa yang melukai **** itu. Beliau juga bisa membaca kecepatan peluru dan jarak tembakan yang diduganya tidak dari jarak yang jauh.
Aku tahu kalau ****** ahli bedah ini juga menyimpan banyak pertanyaan dan rasa penasaran. Namun, baginya sekarang, cepat melakukan pekerjaannya dan orang-orang itu pergi dari rumahnya.
Satu jam yang melelahkan. Akhirnya peluru itu bisa ****** dari bahu **** bernama Hendri. Daya tahan tubuhnya cukup **** sehingga tak membuat Hendri pingsan. Sepertinya dia sudah terbiasa dengan peristiwa menakutkan seperti ini.
****** Nanda memperlihatkan peluru yang diletakkan di atas tisu padaku. "Ini peluru apa, Dok?" tanyaku lirih.
"Entahlah, ada tulisan FN kalau kamu melihatnya dengan jeli."
Aku enggan memperhatikannya. Aku lebih fokus pada ****** Nanda yang sedang menulis resep di sebuah kertas biasa tanpa ditandatangani olehnya. "Ini **** terbaik semua. Semoga apotek mau memberikannya tanpa ada ***** keterangan jelas dari saya," ucap ****** Nanda sambil memberikan catatan itu pada Pak Darmawan. Tentunya ****** yang kukenal itu tidak mau menanggung resiko apapun jika ternyata **** yang ditolongnya ternyata residivis atau ODP.
****** Nanda serius memandangku. "Mungkin malam ini dia akan demam. Jaga suhu tubuhnya agar tetap hangat dan menyelimutinya. Jangan sampai dia mengalami hipotermia yang bisa mengancam nyawanya."
"Ya, Dok."
"Hati-hati, Suster!" pesannya padaku. Aku mengangguk dan pergi bersama mereka.
Pak Darmawan menurunkan seorang anak buahnya di depan sebuah apotek. Kami menunggu karena antrian sangat panjang. Hendri yang lengannya terbalut perban hanya diam saja sambil memejam.
Lelaki kerempeng di sana tampak sedang menjawab pertanyaan dari petugas apotek. Namun, akhirnya **** berhasil di beli.
"Kamu rawat Hendri sampai kondisinya pulih. Aku akan membayarmu mahal," kata Pak Darmawan ketika kami sudah sampai di rumahnya. Kamar yang tadi penuh bercak darah sekarang sudah bersih, rapi, dan wangi.
Lelaki berbadan kekar itu membantu bos mudanya berganti pakaian. Sedangkan aku menunggu di luar sambil mempersiapkan **** yang harus diminum. Sementara Bu Atun membawakan nampan berisi makanan dan air minum.
"Besok saya shif siang, Pak."
"Jam berapa?"
"Jam dua. Sebelum jam dua saya harus sampai di ***** *****."
"Anak buah saya akan mengantar dan menjemputmu. Mereka akan membawamu kembali ke ***** ini."
"Nggak usah, Pak. Saya akan berangkat sendiri seperti biasa. Daripada nanti saya jadi pusat perhatian."
"Tapi, kamu harus janji akan datang ke sini?"
Aku mengangguk pada **** yang sebenarnya terlihat baik itu. Tapi entahlah, karena apa yang terjadi terlihat sangat misterius.
"Bu Atun, kasih makan dulu buat Mas itu. Dia harus makan setelah kehilangan banyak darah. Setelah itu saya akan menyuruhnya minum ****."
Bu Atun mengangguk dan bicara dengan **** itu. Aku memperhatikannya dari ambang pintu kamar. Setelah beberapa saat membujuk dan tidak berhasil, aku mendekat. "Makanlah, Anda harus minum ****," bujukku.
"Mana obatnya?"
"Anda harus makan dulu, karena ini **** keras. Lagipula Anda juga tidak mendapatkan infus jadi tidak ada cairan yang masuk."
"Aku bisa minum **** tanpa makan," paksanya.
"Jangan keras kepala. Saya tidak ingin disalahkan jika terjadi sesuatu dengan, Anda."
"Aku tak akan mati semudah itu. Mana **** yang harus kuminum."
Kusentuh kening **** yang mulai menggigil. Dan benar, suhu tubuhnya mulai naik. Kuambil piring dari tangan Bu Atun. "Cepat makan dan saya akan memberikan Anda ****. Suhu tubuh Anda mulai panas. Sebentar lagi pasti demam." Terpaksa aku menyuapinya. Namun, dia tetap enggan membuka mulut. Beberapa kali kucoba tapi dia tetap enggan makan. Kalau anak kecil aku bisa membujuk dan mengajaknya bercanda biar mau makan, tapi ini ....
Piring kukembalikan pada Bu Atun. "Cari perawat lain saja. Saya mau pulang karena waktunya saya harus istirahat. Besok saya kerja," ucapku karena emosi.
"Tunggu, Nona," lelaki berbadan kekar yang sejak tadi berdiri di dekat jendela kamar itu menahanku yang hendak melangkah.
Dan dari arah pintu kamar, masuklah Pak Darmawan. "Hendriko, tak usah membantah. Apa kamu ingin mati?"
"Itu 'kan yang diinginkan oleh anak kesayangan Papa?" Hendri menjawab dengan sinis. Dari sini aku bisa menangkap kalau mereka sedang terlibat konflik dalam keluarga.
Anak kesayangan? Bukankah mereka berarti bersaudara? Kenapa antar saudara harus bertikai dengan menggunakan ******* *** begini? Apa ini alasan mereka tidak mau ke ***** ***** yang akan berujung pengusutan oleh pihak aparat?
Aku yang merasa lelah dan mengantuk tidak menghiraukan perdebatan papa dan anak. Aku diam memandang kamar yang minim perabot dan terlihat maskulin.
Akhirnya **** muda itu mau makan meski tidak dihabiskannya. Kini giliranku memberikan beberapa **** yang mengandung pereda nyeri, antibiotik, dan untuk meredakan demam.
"Jaga dia malam ini, Suster. Orangku akan membawakan ranjang lipat ke ruangan ini," ucap Pak Darmawan.
"Biar saya tidur di luar saja, Pak."
"Kamu harus menjaganya. Malam ini aku akan memberikan sebagian gajimu. Berapa nomer rekening kamu?"
"Maaf, saya nggak ingat."
"Baiklah, saya akan memberikan uang cash."
"Nanti saja setelah pekerjaan saya di sini sudah selesai, Pak," tolakku.
"Oh ya, biar Bu Atun menemani saya malam hari di sini!" pintaku.
"Baiklah." Pak Darmawan memerintahkan beberapa anak buahnya untuk menyiapkan tempat tidurku di kamar ini.
"Bu Atun, ambilkan pakaian ganti untuk Suster ...." Kalimat itu mengambang dan Pak Darmawan memandangku. "Siapa namamu?"
"Panggil saja saya Embun."
"Oke. Ambilkan pakaian ganti untuk Embun." Setelah memerintahkan ART-nya, lelaki itu memandang putranya sejenak lantas ke luar ruangan.
Beberapa orang laki-laki masuk sambil membawa sebuah sofa yang kemudian diubah menjadi tempat tidur. Diletakkannya ranjang instan itu mepet dekat dinding. Aku akan menidurinya bersama Bu Atun.
Tak lama kemudian wanita itu datang sambil membawakan pakaian untukku. Sebuah tunik dan celana panjang. Wangi dan terlipat rapi. Entah milik siapa. Kalau bajuku tidak ternoda darah, aku tidak akan memakainya.
"Mbak, baju ini mungkin kebesaran sedikit. Tapi bisa Mbak pakai untuk sementara. Biar bajunya Mbak yang terkena darah besok saya cuci." Wanita itu memberikan baju itu padaku.
"Nggak usah, Bu. Saya akan mencucinya sendiri."
* * *
Suara Azan Subuh dikejauhan membuatku terbangun. Rasanya berat sekali mata ini terbuka dan tubuh bangkit dari pembaringan. Mungkin **** satu setengah jam aku tidur setelah semalaman begadang.
**** itu mengalami demam tinggi hingga menggigil. Beberapa selimut aku tangkupkan di tubuhnya yang jangkung. Seperti yang dikatakan ****** Nanda, hampir saja Hendri mengalami hipotermia.
Aku pinjam mukena pada Bu Atun. Aku salat di kamar itu juga karena kamar Bu Atun masih ada Pak Wahab, lelaki yang menjemputku tadi malam.
Meski keadaannya belum benar-benar membaik, tapi panas tubuhnya sudah menurun. Hendri bahkan sudah bisa berdiri siang itu, sepertinya dia memaksakan diri sekali. Dicegah pun percuma, dia **** yang keras kepala.
"Saya harus pulang karena sebentar lagi saya masuk kerja," ucapku setelah memberikan **** yang harus diminum siang itu.
"Pulang jam berapa?" tanyanya datar.
"Jam sepuluh malam."
"Biar dijemput oleh sopirku."
"Nggak perlu."
##3270806##
Aku duduk di sebelah Yani yang sedang minum teh di kursi ruangan kantor kami. Aku mengambil gelas teh lain yang tadi dibuatkan Yani untukku. Rasanya lama sekali menunggu jam sepuluh malam.
Sungguh capek dan mengantuk malam ini. Rasanya tubuhku ingin segera rebah saja. Menunggu satu jam lagi kenapa terasa lama sekali.
"Embun, kamu kenapa? Kelihatan lelah begitu. Kamu nggak tidur semalaman?"
Aku masih menyesap teh. Apa harus kuceritakan pada Yani tetang peristiwa tadi malam?
"Kamu masih mikirin mantan kamu itu?" tanya Yani lagi.
Aku tersenyum getir. Kejengkelan Yani melebihi kekecewaan yang aku rasakan sendiri. Yani tahu bagaimana aku dan Mas Fariq melewati sepuluh tahun kebersamaan kami. Dialah saksi susah senangku bersama **** yang kucintai sepenuh hati. Dan sekarang semua tinggallah kenangan yang amat menyakitkan.
"Sudah setahun yang lalu, lupakan itu. Kamu masih muda, cantik juga. Masih banyak kesempatan untuk mendapatkan **** yang jauh lebih baik daripada Mas Fariq."
"Aku sekarang sedang nggak ingin memikirkan itu, Yan. Aku nggak ingin mencintai siapapun. Aku ingin menikmati hidupku. Lagian siapa juga yang mau dengan perempuan yang nggak bisa punya anak sepertiku."
Yani meletakkan gelas kosongnya di atas meja. Dia menggeser kursinya hingga lebih dekat lagi denganku.
"****** bilang kamu tuh nggak mandul."
"Mungkin diagnosis mereka salah. Buktinya hingga menjelang perceraian aku juga belum hamil," bantahku pada Yani.
"Aku yakin kamu kelak bakalan punya anak." Yani lebih mencondongkan tubuhnya ke arahku. Ibu satu anak ini benar-benar ingin melihatku kembali bangkit.
Seorang keluarga pasien datang memberitahu kalau infus suaminya hampir habis. Yani segera berdiri dan mengambil infus untuk menggantinya.
Aku telungkup di atas meja dengan kedua lengan sebagai tumpuan. Mataku memejam, aku capek sekali hari ini. Ingin rasanya langsung saja pulang ke kosan. Tapi, aku harus kembali ke ***** itu.
Yani kembali, duduk lagi di sebelahku kemudian memijit bahuku. Sumpah, rasanya nyaman sekali. Dan itu mengingatkanku pada Mas Fariq yang sering melakukan itu disaat aku benar-benar kecapekan. "Capek ya, mas pijitin."
Aku segera mengangkat wajahku, sebelum semua kenangan timbul ke permukaan dan membuatku kembali tenggelam dalam kenangan. "Thanks," ucapku pada Yani.
"Buka hati kamu lagi. Kamu juga harus bahagia seperti mereka. Seperti mantan suamimu dan perempuan itu."
Bahagia? Apakah mereka bahagia? **** yang sangat hangat, romantis, dan penyayang itu tampak tidak begitu peduli pada istri barunya. Aku melihat sisi romantis seorang Fariq telah lenyap, berganti dengan sosok dingin dan pendiam. Terkadang saat ini masih ada keinginan untuk tahu tentang **** itu. Tentang segala aktifitas dan sikapnya setelah aku memutuskan pergi dari hidupnya. Namun, semua itu hanya akan membuatku kembali terluka dan tidak waras saja.
"Hatiku udah tawar untuk memulai semuanya lagi, Yan. Capek."
"Jangan gitu. Ada ****** Fajar yang kwueeren dan care itu mau kamu sia-siain juga?"
Aku memandang sahabat yang duduk di sampingku. Aku mengalihkan percakapan kami dengan menceritakan peristiwa semalam setelah kami pulang dari belanja makan malam. Sontak mata bulat Yani terbelalak. Aku menutup mulutnya agar dia tidak bicara sebelum aku selesai cerita.
"Pantesan kamu kelihatan kelelahan gitu."
"Untungnya hari ini aku shif sore. Aku nggak enak banget sama ****** Nanda. Tapi, aku benar-benar bingung mau bertindak bagaimana."
"Nanti kamu ke ***** besar itu lagi?"
Aku mengangguk.
"Hati-hati, cukupkan juga istrirahatmu. Jangan sampai kamu tumbang."
"Ya. Makasih untuk support darimu. Jika nggak ada kamu, aku nggak tahu sudah jadi seperti apa."
Yani tersenyum sampai mengusap lembut punggungku.
* * *
Sebenarnya aku capek malam ini. Tapi, tidak enak juga kalau aku tidak pergi ke ***** Pak Darmawan, bahkan sekarang pun sudah jam setengah sebelas malam. Bagaimanapun juga aku punya tanggung jawab pada lelaki yang sedang terluka itu.
Apapun permasalahan mereka, itu tidak ada urusannya denganku. Aku hanya bekerja di sana. Jika **** bernama Hendriko itu sembuh dengan cepat, selesai sudah tugasku.
Kusapukan cream malam pada wajahku. Kemudian memakai bergo warna abu-abu yang **** kuambil dari lemari. Jaket yang kemarin terkena darah belum sempat aku cuci, masih terendam di ember dalam kamar mandi. Aku mengambil satu jaket lagi, yang sebenarnya enggan untuk kupakai lagi. Jaket yang menyimpan banyak kenangan dari seseorang yang pernah menjadikan aku ratu di hati dan rumahnya.
Jaket itu dibelinya untukku, ketika kami liburan akhir tahun waktu itu. Kupikir cinta kami tidak akan bisa mati. Tapi, kenyataannya tidak seperti yang pernah aku impikan.
Ketukan di pintu kamar membuatku kaget dan menoleh.
"Mbak." Pak Wahab memanggilku dengan suara lirih, mungkin beliau juga tidak ingin mengganggu penghuni kosan yang sudah tertidur.
Gegas aku membuka pintu. "Ya, Pak. Saya ambil jaket dulu."
Kusambar jaket yang tadi kuletakan di kursi. Aku kembali ****** dan mengunci pintu. Pada saat yang bersamaan, pintu kamar sebelah terbuka. Mbak Sri tampak heran melihatku bersama seorang laki-laki setengah baya berseragam sopir.
"Mau ke mana?" tanyanya lirih.
"Aku ada pekerjaan merawat seseorang yang sedang *****, Mbak. Mungkin hanya beberapa hari saja sampai dia sembuh."
"Oh, hati-hati ya!" pesan Mbak Sri.
Aku mengangguk, sambil melangkah mengikuti Pak Wahab. Mbak Sri masih memandangku dari ***** pintu kamarnya.
Wanita itu juga seorang janda dengan dua anak yang tinggal bersama ibunya di desa. Mbak Sri bekerja di sebuah restoran yang cukup terkenal di kota kecil ini. Dia juga yang sering memberiku banyak nasehat jika punya waktu untuk duduk ngobrol berdua.
Ketika aku masuk ***** mewah itu beberapa orang laki-laki yang masih duduk di pos ronda depan sana memandang ke arahku. Mereka tadi juga melihatku naik ***** saat pulang kerja, sekarang melihatku dijemput oleh ***** mewah. Mungkin mereka juga tahu kalau kendaraan ini milik keluarga kaya itu.
Entah apa yang dipikirkan oleh mereka. Sekarang aku tidak peduli apa pun tentang pandangan orang terhadapku. Jika kupikirkan hanya menambah beban pikiran saja.
"Tadi saya disuruh Tuan untuk menjemput Mbak Embun." Pak Wahab bicara padaku sambil memandang kaca spion di atas kemudi.
"Iya, nggak apa-apa, Pak. Sebenarnya tadi saya juga sudah mau berangkat. Saya pulang dari ***** ***** jam sepuluh lebih seperempat."
Pak Wahab mengangguk, kemudian kembali fokus ke jalanan. Sebenarnya aku bisa berangkat sendiri naik *****, jarak antara kosan dan ***** megah itu hanya beberapa menit saja.
Ponselku di sling bag berdering. Saat kulihat **** Mas Fariq yang menelepon. Untuk apa dia meneleponku malam-malam begini? Apa tidak khawatir kalau diketahui istrinya? Aku tak peduli, kukembalikan lagi ponsel ke dalam sling bag. Kubiarkan panggilan itu tak terjawab hingga berkali-kali.
Aku turun setelah ***** berhenti di garasi. Di sebelah ***** yang menjemputku berjajar ***** mewah lainnya. Pekerjaan mereka apa hingga sekaya ini? Ah, **** amat.
Seorang wanita setengah baya dengan mata yang terlihat sembab menyambutku di depan pintu. Sepertinya dia habis menangis. Namun, masih tampak cantik nan anggun. Di belakangnya ada Bu Atun. "Ini Mbak Embun yang merawat Mas Hendri, Nyonya."
Aku mengangguk pada wanita cantik itu. Senyumnya ramah, tangannya yang berkulit putih bak pualam terulur untuk menyalamiku. "Saya mamanya Hendriko."
"Saya Embun."
"Masuklah. Waktunya untuk mengganti perban, 'kan?"
"Iya, Nyonya."
"Jangan panggil Nyonya, panggil saja Bu Salwa."
Aku kembali mengangguk, kemudian mengikutinya menaiki tangga. Bu Atun juga ikut serta, karena wanita itu yang membantuku sejak kemarin malam.
Pintu kamar terbuka, laki-laki itu terbaring sekenanya di atas ranjang besarnya. Tangannya yang ***** menumpang di atas bantal.
"Hendri, ****** dulu, Nak. Perbanmu mau diganti." Lembut sekali Bu Salwa membangunkan putranya.
**** itu membuka mata, Bu Salwa hendak membantu putranya duduk tapi tidak mampu. Badannya terlalu ringkih untuk ukuran tubuh putranya. Kemudian laki-laki bertubuh kekar yang selalu menjaga Hendri kemarin malam buru-buru mendekat dan membantu bosnya untuk duduk. Biar memudahkan aku untuk menggantikan perban.
Bu Atun turut membantuku menyiapkan kotak tempat segala **** dan perlengkapan untuk merawat luka. Kulihat **** yang harus diminum masing-masing sudah berkurang empat butir. Berarti **** untuk malam ini pun sudah di minumnya.
"Jam berapa minum **** tadi, Bu?" tanyaku pada Bu Atun.
Bu Atun tampak kebingungan hendak menjawab, sepertinya beliau takut hendak bilang sesuatu. Terlebih tatapan dingin **** itu sedang memperhatikan tanganku yang sedang bekerja.
"Aku meminumnya sejam setelah kamu pergi," jawab Hendri.
Aku kaget dan menatapnya.
"Kalau obatnya cepat habis lebih baik, 'kan? Penyembuhannya juga cepat."
Astaga! Apa lelaki ini tidak takut kalau over dosis? Dia **** yang tampak cerdas dan terpelajar, tak mungkin kalau tidak tahu aturan minum ****.
"Maaf, sebaiknya mengikuti aturan saja daripada nanti terjadi sesuatu. Ini **** dengan dosis tinggi. Untuk meminumnya ada aturan dan jarak waktunya." Aku menjelaskan. Namun, **** itu tidak mempedulikannya. Aku juga tak lagi bicara. Dia bukan anak kecil yang harus berulang-ulang dikasih tahu.
Melihat luka yang memerah dan agak kehitaman itu membuatku bisa merasakan bagaimana sakitnya. Bahkan Bu Salwa langsung ****** kamar karena tidak tahan pastinya. Tapi, **** ini tetap dingin dan membeku. Tak tampak ekspresi kesakitan di raut wajahnya. Namun, giginya terkatup rapat untuk menahan nyeri.
Ponsel yang lupa aku silent beberapa kali berdering di dalam sling bag.
"Siapa yang berisik menghubungimu? Kekasihmu?" tanya Hendri tampak terganggu. Tidak suka dengan nada dering ponselku yang mungkin sangat mengganggu.
Segera kulepaskan sarung tangan dan meraih sling bag. Kuambil ponsel dan kunon-aktifkan nada deringnya.
Hendri tidak bertanya apa-apa lagi hingga aku selesai mengganti perbannya dengan rapi. Tapi, suhu tubuhnya lumayan hangat. Kuambil termo gun untuk mengecek suhu tubuhnya. 38°C.
Aku bingung harus bagaimana. Benarkah obatnya untuk jatah malam sudah diminum? Bagaimana aku bisa tahu kalau laki-laki ini enggan bicara. Nanti, obatnya aku simpan di tempat terpisah saja. Daripada menyusahkan aku seperti ini.
Aku memanggil laki-laki bertubuh kekar, ah sebut saja bodyguard. Mungkin memang dia seorang pengawal pribadi bosnya. Aku memintanya untuk membantu Hendri berbaring. Kemudian meminta Bu Atun untuk menyiapkan air untuk mengompres.
Bu Atun kembali membawa baskom dan handuk kecil. Di belakangnya ada Pak Darmawan dan Bu Salwa. Aku menepi ketika mereka menghampiri putranya. Sejenak mereka memperhatikan sang putra yang sudah memejam.
"Kamu rawat putraku sampai benar-benar pulih. Biar Pak Wahab yang mengantar jemputmu ke kosan," kata Pak Darmawan sambil mendekatiku.
"Biar saya naik ***** saja, Pak," jawabku menolak.
"Jangan. Pak Wahab yang akan mengantar jemputmu."
Aku tidak bisa membantah lagi, karena lelaki itu segera mengajak ****** istrinya. Tinggallah aku dan Bu Atun di dalam kamar. Sementara bodyguard tadi berjaga di luar kamar.
"Mbak, sudah makan?" tanya Bu Atun lirih setelah kami duduk di tempat tidur kami.
"Sudah, Bu."
"Saya buatkan teh panas, ya!"
"Nggak usah Buk, saya minum air putih saja." Aku menunjuk botol air mineral di atas meja.
Bu Atun kusuruh tidur terlebih dulu, kasihan. Setelah seharian bekerja. Tapi, tadi pagi kulihat ada satu lagi wanita setengah baya yang membantu Bu Atun. Mungkin dia hanya pekerja paruh waktu.
Pak Darmawan dan istrinya terlihat sangat baik, juga ramah. Tidak seperti sikap orang kaya kebanyakan. Jika Hendri bukan satu-satunya putra mereka, lalu mana anaknya yang lain? Terutama yang telah menembak Hendri. Sekilas waktu aku hendak naik ke lantai dua, aku melihat foto keluarga menempel di dinding ruang keluarga. Namun, aku tidak bisa melihatnya dengan jelas karena buru-buru menaiki tangga.
* * *
Pagi itu aku terbangun jam tujuh, ketika sinar matahari menerobos jendela dan membuatku silau. Kusingkap selimut yang menutupi tubuhku. Kulihat Hendri duduk di kursi depan jendela, menghadap ke timur, ke arah matahari terbit. Tidak ada siapapun di kamar itu selain kami.
Bu Atun pasti sudah ke dapur, beliau tidak membangunkanku tadi, bahkan aku tidak salat subuh.
Segera kubenahi bergo yang kupakai, lantas kudekati **** yang diam membelakangiku. "Maaf, aku kesiangan," ucapku lirih.
"Aku sudah sarapan, mana **** yang harus kuminum?" tanyanya datar.
Aku bergegas mengambil **** yang aku sembunyikan tadi malam. Kuletakan **** itu di telapak tangan kirinya dan segelas air putih masih kupegang. "Lain kali nggak usah disembunyikan. Aku nggak perlu merepotkan kamu untuk mengambilkan."
Bagaimana tidak kusembunyikan, nanti dia bisa meminum **** itu tanpa aturan. Namun, sangkalan itu cukup terucap dalam hati saja.
Aku membawa gelas bekas minumnya ke bawah. Namun di tangga aku berpapasan dengan Bu Atun yang hendak naik dan membawa senampan sarapan. Aku kaget, itu sarapan buat siapa? Bukankah tadi Hendri bilang sudah sarapan?
"Ini sarapan untuk siapa, Bu?"
"Untuk, Mbak. Mas Hendri sudah sarapan tadi."
Aku lega mendengar jawaban Bu Atun. **** itu tidak berbohong.
"Aku sarapan di bawah saja, Bu."
Kami kembali turun. "Kenapa Bu Atun nggak bangunin saya tadi?"
"Sudah saya bangunin, tapi sama Mas Hendri nggak boleh, Mbak."
Ah, mungkin **** itu kasihan melihatku kecapekan. Tapi, **** seperti dia apa punya rasa kasihan?
Ketika kami sampai bawah, dari arah pintu utama melangkah seorang **** tegap yang wajahnya sangat mirip dengan Hendri. Wajah yang sama-sama dingin. Apa mereka bersaudara?