Saat ini, orang pintar agama Islam semakin banyak. Pondok pesantren, boarding school, atau madrasah jumlahnya meningkat tahun demi tahun. Ustadz-ustadz muda, kiai-kiai muda, ulama-ulama muda, baik yang selebritis ataupun yang bukan, berkecambah di mana-mana. Dan, Islam tampil sebagai gaya hidup. Berita-berita tentang festival keislaman, audisi tahfiz, audisi dai cilik, short course ilmu-ilmu dasar Islam, kursus baca kitab, dan perayaan dan pertunjukan agama lainnya yang dimodifikasi sedemikian modern bersilang-sengkarut dengan berita-berita tentang korupsi, ayah menghamili anaknya, ibu bertindak asusila dengan putranya, kakak berduel dengan adiknya gara-gara warisan, ledakan bom di gereja, pembubaran paksa pengajian, penipuan, perampokan, dan bentuk-bentuk kriminalitas lainnya yang masif dilakukan oleh orang-orang yang mengaku Allah Swt. sebagai Tuhannya dan Rasulullah Saw. sebagai nabinya. Mengapa hal ini bisa terjadi? Tidak lain dan tidak bukan karena umat Islam saat ini lebih mengedepankan ilmu ketimbang adab. Ia menganggap ilmu sebagai mercusuar peradaban dan dengan ilmu orang dapat bertindak rasional. Ia tidak merasa bahwa di samping ilmu merupakan cahaya, juga dapat bertindak sebagai tabir yang membuat kita terhalang dari cahaya. Memang ilmu sangat penting, tetapi yang lebih penting dari ilmu adalah pengamalannya. Tiadalah berguna orang memiliki ilmu segudang apabila adabnya tak lebih dari setitik debu. Bahkan, di dalam Islam, orang Mukmin dikatakan sempurna imannya bukan karena ilmunya tinggi, melainkan karena akhlaknya bagus. Rasulullah Saw. bersabda: “Kaum Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. Tirmidzi).