Ale, seorang pria berusia 37 tahun memiliki tinggi badan 189 cm dan berat 138 kg. Badannya
bongsor, berkulit hitam, dan memiliki masalah dengan bau badan. Sejak kecil, Ale hidup di
lingkungan keluarga yang tidak mendukungnya. Ia tak memiliki teman dekat dan menjadi
korban perundungan di sekolahnya.
Ale didiagnosis psikiaternya mengalami depresi akut. Bukannya Ale tidak peduli untuk
memperbaiki dirinya sendiri, ia peduli. Ale telah berusaha mengatasi masalah-masalah yang
timbul dari dirinya agar ia diterima di lingkungan pertemanan. Namun usahanya tidak pernah
berhasil. Bahkan keluarganya pun tidak mendukungnya saat Ale membutuhkan sandaran dan
dukungan.
Atas itu semua, Ale memutuskan untuk mati. Ia mempersiapkan kematiannya dengan baik.
Agar ketika mati pun, Ale tidak banyak merepotkan orang. Dua puluh empat jam dari sekarang,
ia akan menelan obat antidepresan yang dia punya sekaligus. Sebelum waktu itu tiba, Ale
membersihkan apartemennya yang berantakan, makan makanan mahal yang tak pernah ia beli,
pergi berkaraoke dan menyanyi sepuasnya hingga mabuk.
Saat 24 jam itu tiba, Ale telah bersiap dengan kemeja hitam dan celana hitam, bak baju melayat
ke pemakamannya sendiri. Ia kenakan topi kecurut ulang tahun dan meletuskan konfeti yang ia
beli untuk dirinya sendiri.
“Selamat ulang tahun yang terakhir, Ale.”
Ale siap menenggak seluruh obat antidepresan yang ia punya. Saat ia memain-mainkan
botolnya, Ale terdiam saat membaca anjuran di kemasan botol itu, dikonsumsi sesudah makan.
Seketika perutnya berbunyi. Dan Ale pun memutuskan untuk makan dulu sebelum mengakhiri
hidupnya. Setidaknya, itu akan menjadi satu-satunya keputusan yang bisa dia ambil atas
kehendaknya sendiri. Setelah selama hidupnya ia tak pernah mampu melakukan hal-hal yang ia
inginkan.
Ale akan makan seporsi mie ayam sebelum mati.