About this product
BahasaBahasa Indonesia
Tipe EdisiEdisi Reguler
Tipe SampulPaperback.
PengarangHabib Bin Ali Muhammaad
PenerbitManbaul Huda
Versi(Versi) Lengkap
Jumlah Halaman72
PenerjemahSholeh Ibn Darim
Tahun2024
Product description
Kitab Simtud Durar yang berisi kisah hidup, akhlak, dan puji-pujian untuk baginda Rasullullah SAW popular dilantunkan umat Islam di Indonesia. Terlebih jika bulan maulid tiba, bacaan Simtud Durar menggema di tiap wilayah.
Namun, banyak yang belum mengetahui sosok penggubah kitab itu. Kisah perjalanan hidup seorang sufi dari Hadramaut yang begitu mencintai Rasulullah ialah Habib Ali bin Muhammad bin Husain Al Habsyi. Bertepatan dengan haulnya yang ke-106, Republika menemui Habib Hasan bin Anis Al Habsyi pada Jumat (1/5). Dia adalah generasi ke empat keturunan Habib Ali Al Habsyi yang tinggal di Solo, Jawa Tengah.
Habib Ali bin Muhammad bin Husain Al Habsyi adalah seorang ulama wara yang lahir di sebuah desa kecil, yaitu desa Qasam, Hadramaut pada Jumat 24 Syawal 1259 hijriyah atau 1839 masehi. Ayahnya, yakni Muhammad bin Husain Al Habsyi, adalah seorang ulama besar yang ikhlas menghibahkan jiwa raganya untuk berdakwah ke berbagai kota dan pelosok desa.
Begitu pun ibunya Alawiyyah binti Husein, yang juga mahir dalam mengajari masyarakat perihal agama. Hingga tak ayal, setelah dewasa, Habib Ali pun menjadi ulama besar yang kerap mendakwahkan Islam ke berbagai pelosok di Yaman, terutama setelah menimba ilmu dari ulama-ulama besar disana.
"Kecintaan Habib Ali ini pada rasululah sangat luar biasa itu yang terkenal, sampai sebagian ulama menyebut dia mendapat kedudukan yang tinggi karena kecintaannya pada rasulullah. Dari cintanya itu diungkapkan melalui Simtud Durar," tutur Habib Hasan.
Dalam buku biografi Habib Ali Muallif Simtud Durar yang ditulis oleh Husein Anis Al Habsyi dijelaskan sejak kecil Habib Ali hidup di tengah keluarga sederhana, Ali sering berpindah-pindah tempat dari kota satu ke kota lainnya semata-mata untuk menimba ilmu agama. Ali kecil digambarkan sebagai anak yang patuh pada orang tuanya dan haus akan ilmu-ilmu agama. Ali tak pernah menolak permintaan Ayahnya ketika diminta untuk turut serta ke Mekkah menimba ilmu pengetahuan.
Saat berusia 11 tahun, ia pindah ke kota Seiwun dan mulai memperdalam ilmu agama pada Sayyid Umar bin Hasan AlHaddad. Pada usia 17 tahun, ia memboyong ayahnya hijrah ke Mekkah untuk meperdalam ilmu pada sejumlah ulama di sana. Dalam masnuskrip Fuyudhat al Bahr al Malikarya Thaha bin Hasan, disebutkan Ali kecil setiap harinya selalu menyempatkan waktu untuk mengerjakan umrah dari Tanim tanpa diketahui orang banyak.
Habib Ali juga dikenal sebagai ulama yang ahli dibidang Nahwu berkat bimbingan Syeikh Muhammad Khathib, seorang ulama ahli gramatikal arab. Sampai dalam sebuah majelis yang dipimpin Habib Ali, gurunya itu pun justru meminta agar muridnya mengajarinya. Hingga saat dewasa, Habib Ali menjadi ulama yang disegani. Berbondong-bondong masyarakat antusias mengikuti setiap majelis ilmu yang digelarnya. Murid-muridnya pun menjadi ulama-ulama besar yang terus menyebarkan Islam ke berbagai negara.